Jakarta - Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas suatu dokumen baik kertas maupun elektronik sebagai bukti/keterangan untuk keabsahan di pengadilan.
Saat ini, pembubuhan bea meterai sudah dapat dilakukan dengan komputerisasi oleh wajib pajak yang telah memperoleh izin tertulis dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk membuat meterai komputerisasi. Bea meterai komputerisasi ini diatur dalam 133b/KMK.04/2020, KEP – 122d/PJ./2000 Jo SE – 05/PJ.05/2001. Regulasi ini mengatur pelunasan bea meterai dengan mesin teraan hanya untuk penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah minimal 100 dokumen per hari.
Mekanisme dan Syarat Meterai Komputerisasi
Berbeda dengan meterai pada umumnya, meterai komputerisasi ini memiliki beberapa unsur yaitu,
- tulisan “BEA METERAI LUNAS”
- angka yang menunjukkan tarif bea meterai
Untuk bisa memanfaatkan bea meterai ini, wajib pajak harus mengajukan permohonan izin pembubuhan tanda bea meterai dengan sistem komputerisasi kepada kepala KPP wilayah kerja meliputi domisili atau tempat tinggal wajib pajak. Setelah itu, nanti petugas akan meneliti kelengkapan berkas. Apabila berkas dinilai sudah lengkap dan sesuai, petugas akan menerbitkan bukti penerimaan surat (BPS).
Wajib pajak yang menggunakan sistem komputerisasi juga perlu membayar bea meterai di muka dengan perhitungan perkiraan dokumen yang harus dilunasi tiap bulannya menggunakan SSP ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
Wajib pajak juga perlu mencantumkan kode akun pajak 411611 dan kode jenis setoran. Surat permohonan izin pembubuhan tanda bea meterai ini dilakukan dengan sistem komputerisasi dimana wajib pajak diminta untuk mencantumkan jenis dokumen serta perkiraan jumlah dokumen yang akan dilunasi bea meterai setiap harinya. Terakhir, wajib pajak perlu lapor kepada Dirjen Pajak setiap maksimal tanggal 15 per bulan terkait realisasi penggunaan dan saldo bea meterai.